Senin, 04 Desember 2017

LP OTITIS MEDIA AKUT



LAPORAN PENDAHULUAN
PADA PASIEN DENGAN OTITIS MEDIA AKUT

A.      DEFINISI
Otitis media adalah infeksi telinga meliputi, infeksi saluran telinga luar (Otitis Eksternal), saluran telinga tengah (otitis media), mastoid (mastoiditis), dan telinga bagian dalam (labyrinthitis). Otitis media, suatu inflamasi telinga tengah berhubungan dengan efusi telinga tengah. (Rahajoe, 2012)
Otitis media akut adalah peradangan akut sebagian atau seluruh periosteum telinga tengah (Kapita selekta kedokteran, 2002).
Otitis media akut ialah radang akut telinga tengah yang terjadi terutama pada bayi atau anak yang biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas (Schwartz 2004, h.141).

B.       ETIOLOGI
Penyebab otitis media akut menurut Wong et al 2008, h.943 ialah Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus influenzae. Sedangkan penyebab dari noninfeksius tidak diketahui, meskipun sering terjadi karena tersumbatnya tuba eustasius akibat edema yang terjadi pada ISPA, rinitis alergik, atau hipertrofi adenoid. Merokok pasif juga menjadi faktor penyebab otitis media. Selain itu menurut Muscari 2005, h.220 otitis media terjadi karena mekanisme pertahanan humoral yang belum matang sehingga meningkatkan terjadinya infeksi, pemberian susu bayi dengan botol pada posisi terlentang akan memudahkan terkumpulnya susu formula di rongga faring, pembesaran jaringan limfoid yang menghambat pembukaan tuba eustachii. Posisi tuba eustachii yang pendek dan horisontal, perkembangan saluran kartilago yang buruk sehingga tuba eustachii terbuka lebih awal.
           
C.      EPIDEMIOLOGI
Otitis media pada anak-anak sering kali disertai dengan infeksi pada saluran pernapasan atas. pada penelitian Zackzouk dan kawan-kawan di Arab Saudi tahun 2001 terhadap 112 pasien infeksi saluran pernapasan atas (6-35 bulan), didapatkan 30% mengalami otitis media akit dan 8% sinusitis. Epidemiologi seluruh dunia terjadinya otitis berusia 1 tahun sekitar 62%, sedangkan anak-anak berusia 3 tahun  sekitar 83%. Di Amerika Serikat, diperkirakan 75% anak mengalami minimal satu episode otitis media sebelum usia 3 tahun dan hampir setengah dari mereka mengalami tiga kali atau lebih. Insiden Otitis Media Akut (OMA) tertinggi terjadi pada usia 2 tahun pertama kehidupan, dan yang kedua pada waktu berusia 5 tahun bersamaan dengan anak masuk sekolah.
Puncak usia anak mengalami otitis Media Akut (OMA) di dapatkan pertengahan tahun pertama sekolah, di Swedia mendapatkan 16.611 anak penderita Otitis Media Akut (OMA) dan didapatkan usia 7 tahun dengan prevalensi terbanyak. resiko kekambuhan otitis media terjadi pada beberapa faktor, antara lain usia < 5 tahun, otitis prone (pasien yang mengalami otitis pertama kali pada usia < 6 bulan, 3 kali dalam 6 bulan terakhir), infeksi pernapasan, perokok dan laki-laki.
Indonesia sebagai  negara berkembang perlu memperhatikan masalah kesehatan ini, namun hal ini tidak didukung dengan pendataan yang jelas tentang insidensi otitis Media Akut (OMA) itu sendiri. data yang didapat dari Profil Kesehatan Dinas Kesehatan Kota bekasi, Otitis Media Akut (OMA) selalu ada pada 20 besar penyakit dengan insidensi tersering.

D.      PATOFISIOLOGI
Otitis media terjadi akibat disfungsi tuba eustasius. Tuba tersebut, yang menghubungkan telinga tengah dengan nasofaring, normalnya tertutup dan datar yang mencegah organisme dari rongga faring memasuki telinga tengah. Lubang tersebut memungkinkan terjadinya drainase sekret yang dihasilkan oleh mukosa telinga tengah dan memungkinkan terjadinya keseimbangan antara telinga tengah dan lingkungan luar. Drainase yang terganggu menyebabkan retensi sekret di dalam telinga tengah. Udara, tidak dapat ke luar melalui tuba yang tersumbat, sehingga diserap ke dalam sirkulasi yang menyebabkan tekanan negatif di dalam telinga tengah. Jika tuba tersebut terbuka, perbedaan tekanan ini menyebabkan bakteri masuk ke ruang telinga tengah, tempat organisme cepat berproliferasi dan menembus mukosa (Wong et al 2008, h.944)







https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg-DTV8FYQ6-Mp3Kmz-Rg1nTc-koPwk21GfM7s8c2xixLSxJ_vj5ZOHAvKHo-B5O9ft9C15fzbUMzZF6fJ7Lbkr57vV2z2Rdyh3hPusp-UryoB-abYadqWM3Bflhs8eXRN8r9fhFT3QHD8/s1600/oma.png

E.       MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis otitis media menurut Wong et al 2008, h.944 :
1.        Terjadi setelah infeksi pernafasan atas
2.        Otalgia (sakit telinga)
3.        Demam
4.         Rabas purulen (otorea) mungkin ada, mungkin tidak.

Manifestasi klinis pada bayi atau anak yang masih kecil :
1.        Menangis
2.        Rewel, gelisah, sensitif
3.        Kecenderungan menggosok, memegang, atau menarik telinga yang sakit
4.        Menggeleng-gelengkan kepala
5.        Sulit untuk memberi kenyamanan pada anak
6.        Kehilangan nafsu makan

Manifestasi klinis pada anak yang lebih besar :
1.        Menangis dan/atau mengungkapkan perasaan tidak nyaman
2.        Iritabilitas
3.        Letargi
4.        Kehilangan nafsu makan
5.        Limfadenopati servikal anterior
6.        Pada pemeriksaan otoskopi menunjukkan membran utuh yang tampak merah terang dan menonjol, tanpa terlihat tonjolan tulang dan refleks ringan.

F.       PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang menurut Muscari 2005, h.220 ialah :
1.        Timpanogram untuk mengukur kesesuaian dan kekakuan membran timpani.
2.        Kultur dan uji sensitivitas hanya dapat dilakukan bila dilakukan timpanosentesis (aspirasi jarum dari telinga tengah melalui membran timpani). Uji sensitivitas dan kultur dapat dilakukan untuk mengidentifikasi organisme pada sekret telinga.
3.        Pengujian audiometrik menghasilkan data dasar atau mendeteksi setiap kehilangan pendengaran sekunder akibat infeksi berulang.

G.      PENATALAKSANAAN
1.        Penatalaksanaan medis menurut Dowshen et al 2002, h.149.
Penatalaksanaan OMA disesuaikan dengan hasil pemeriksaan dan stadiumnya :
a.         Stadium oklusi tuba
1)        Berikan antibiotik selama 7 hari :
a)        Ampisilin : Dewasa 500 mg 4 x sehari; Anak 25 mg/KgBB 4 x sehari atau
b)        Amoksisilin : Dewasa 500 mg 3 x sehari; Anak 10 mg/KgBB 3 x sehari atau
c)        Eritromisin : Dewasa 500 mg 4 x sehari; Anak 10 mg/KgBB 4 x sehari
2)        Obat tetes hidung nasal dekongestan
3)        Antihistamin bila ada tanda-tanda alergi
4)        Antipiretik
b.        Stadium hiperemis
1)        Berikan antibiotik selama 10 – 14 hari :
a)        Ampisilin : Dewasa 500 mg 4 x sehari; Anak 25 mg/KgBB 4 x sehari atau
b)        Amoksisilin : Dewasa 500 mg 3 x sehari; Anak 10 mg/KgBB 3 x sehari atau
c)        Eritromisin : Dewasa 500 mg 4 x sehari; Anak 10 mg/KgBB 4 x sehari
2)        Obat tetes hidung nasal dekongestan maksimal 5 hari
3)        Antihistamin bila ada tanda-tanda alergi
4)        Antipiretik, analgetik dan pengobatan simtomatis lainnya
c.         Stadium supurasi
1)        Segera rawat apabila ada fasilitas perawatan.
2)        Berikan antibiotika ampisilin atau amoksisilin dosis tinggi parenteral selama 3 hari. Apabila ada perbaikan dilanjutkan dengan pemberian antibiotik peroral selama 14 hari.
3)        Bila tidak ada fasilitas perawatan segera rujuk ke dokter spesialis THT untuk dilakukan miringotomi.
2.        Penatalaksanaan keperawatan menurut Muscari 2005, h.221 ialah :
a.         Kaji anak terhadap demam dan tingkat nyeri, dan kaji adanya komplikasi yang mungkin terjadi.
b.        Turunkan demam dengan memberikan antipiretik sesuai indikasi dan lepas pakainan anak yang berlebihan.
c.         Redakan nyeri dengan memberikan analgesik sesuai indikasi, tawarkan makanan lunak pada anak untuk membantu mengurangi mengunyah makanan, dan berikan kompres panas atau kompres hangat lokal pada telinga yang sakit.
d.        Fasilitas drainase dengan membaringkan anak pada posisi telinga yang sakit tergantung.
e.         Cegah kerusakan kulit dengan menjaga telinga eksternal kering dan bersih.
f.         Berikan penyuluhan pada pasien dan keluarga :
1)        Jelaskan dosis, teknik pemberian, dan kemungkinan efek samping obat.
2)        Tekankan pentingnya menyelesaikan seluruh bagian pengobatan antibiotik
3)        Identifikasi tanda-tanda kehilangan pendengaran dan menekankan pentingnya uji audiologik, jika diperlukan.
4)        Diskusikan tindakan-tindakan pencegahan, seperti memberi anak posisi tegak pada waktu makan, menghembus udara hidung dengan perlahan, permainan meniup.
5)        Tekankan perlunya untuk perawatan tindak lanjut setelah menyelesaikan terapi antibiotik untuk memeriksa adanya infeksi persisten.

  
H.      NURSING CARE PLAN
1.        Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi pada telinga tengah dan rupturnya membrane tympani.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam, rasa nyeri dapat terkontrol dengan kriteria hasil :
a.         Skala nyeri 1-3 (0-10)
b.        Ekspresi wajah rileks
INTERVENSI
RASIONAL
  • Kaji karakteristik nyeri

  • Anjurkan klien untuk tidak mengorek telinga

  • Kompres dingin pada bagian mastoid.
·         Menentukan tingkat keparahan dan intervensi lebih lanjut.
·         Dapat memperoleh infeksi/rupture membrane tympani
·         Kompres dapat mengurangi rasa nyeri.

2.        Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam klien menyatakan tidak demam lagi dengan kriteria hasil :
a.         Suhu 36,7°C-37°C
b.        Tidak terjadi tanda-tanda dehidrasi.


INTERVENSI
RASIONAL
·         Ukur suhu 6 jam sekali


·         Kompres hangat pada lipatan-lipatan dan kening


·         Anjurkan pasien untuk minum lebih ± 2,5-3 L/hari
·         Mengetahui perubahan suhu sebelum dan sesudah dilakukan intervensi
·         Kompres pada lipatan, contohnya : ketiak, lebih cepat menurunkan panas karena pori-pori di daerah tersebut besar.
·         Menceah dehidrasi sebagai efek demam.

3.        Gangguan persepsi sensori auditori berhubungan dengan gangguan hantaran bunyi pada organ pendengaran.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam fungsi indera pendengaran klien kembali normal dengan kriteria hasil :
a.         Gangguan pendengaran dapat teratasi
b.        Klien tidak mengalami hambatan komunikasi.
INTERVENSI
RASIONAL
·         Kaji tingkat gangguan pendengaran
·         Ketika berkomunikasi dengan klien usahakan dnegan suara keras tapi pelan.
·         Kolaborasi dalam melakukan miringotomi/timpanotomi.
·         Mengetahui tingkat gangguan dan menentukan intervensi
·         Dengan komunikasi keras tapi pelan diharapkan dapat lebih diterima klien.
·         Timpanotomi bertujuan untuk melakukan drainase secret dari telinga tengah ke telinga luar.





DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, ES & Is kandar,N. 2004. Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan. FKUI: Jakarta.
Betz, CL. 2002.  Buku saku keperawatan pediatri. EGC: Jakarta.

Dowshen et al. 2002. Petunjuk lengkap untuk orang tua. PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta.

Muscari, ME. 2005. Panduan belajar: keperawatan pediatrik. EGC: Jakarta.

Schwartz, M. 2004. Pedoman klinis pediatri. EGC: Jakarta.

Wong, DL et al. 2008. Buku ajar keperawatan pediatrik. EGC: Jakarta.




0 komentar:

Posting Komentar

Detik - detik Tsunami Kota Palu